Sabtu, 06 Oktober 2012

Di kawasan kepulauan Seribu, Jakarta Utara, terdapat beberapa pulau bersejarah. Salah satunya adalah pulau Edam atau Damar Besar. Edam merupakan nama sebuah kota di Belanda. Nama itulah yang diberikan pemerintah VOC. Namun rakyat setempat menyebutnya pulau Damar Besar karena di sana banyak terdapat pohon damar (kemenyan). Ini untuk membedakan dengan pulau Damar Kecil di dekatnya, yang memang berukuran lebih kecil daripada pulau Edam. Pulau Damar Kecil disebut juga pulau Monyet.

Pulau Edam, nama yang lebih populer untuk referensi sejarah, bisa dicapai dari Tanjung Priok, Muara Kamal, atau lokasi lainnya dengan jarak tempuh memakai perahu motor nelayan sekitar 30 menit. Luas arealnya lebih dari 30 hektar. Sejak lama pulau ini berada di bawah pengawasan TNI AL.

Semasa pemerintahan VOC, Edam dikenal sebagai pulau yang selalu sibuk. Hal ini ditandai adanya menara mercu suar, benteng, gudang, tempat penggergajian kayu, penjara, barak, menara pengintai, dan rumah pejabat. Edam mulai ditangani serius pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Camphuijs (1684-1691). Pada 1685 pemerintahan Hindia Belanda memberikan pulau Edam kepada Camphuijs untuk dijadikan sebuah kebun yang indah. Rumah peristirahatan bertingkat dua juga didirikan di sana. Sekarang bangunannya sudah tidak ada lagi, namun pelukis beken di Batavia kala itu, Johannes Rach pernah mengabadikannya.

Koleksi binatang dan tanaman langka dalam kebun sekitar rumah peristirahatan itu menjadi terkenal karena merupakan ’tanaman Jepang’ terbesar di luar Jepang pada zaman itu. Camphuijs menanam pohon-pohon bonsai di antara batu-batu wadas, memasang jembatan-jembatan kecil, dan air terjun yang disinari oleh lampion batu gaya Jepang. Menurut Adolf Heuken dalam bukunya, tamu-tamu dijamu dengan makanan dari dapur Jepang dan dipaksa makan dengan sumpit. Karena itu orang pernah berpandangan bahwa pulau Edam sebagai salah satu tempat paling menyenangkan di dunia (1682). Sebelum itu, pulau Edam sering dipergunakan para bajak laut sebagai tempat persembunyian. Maka, untuk menghilangkan kegiatan negatif, pemerintah kolonial menggalakkan berbagai kegiatan di sana.

Pada 1699 di pulau Edam didirikan sebuah gudang dari bambu. Wessel Tiemma, seorang pedagang, ditunjuk sebagai kepala gudang. Didirikan juga pos keamanan yang dijaga belasan tentara untuk menjaga keamanan pulau. Pada 1705 didirikan sebuah kincir angin untuk keperluan penggergajian kayu. Masih di tahun yang sama didirikan pula tempat pengeringan mesiu dan gudang tali-temali. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)
 








 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar